To commemorate the International Day of Zero Tolerance for Female Genital Mutilation/Cutting (FGM/C), the British Embassy Jakarta and UNFPA recently held a national stakeholder forum in Jakarta. The event aims to raise awareness, strengthen collaboration, and accelerate progress and endeavours towards the elimination of FGM/C practice in Indonesia as well as to address the social and cultural norms that perpetuate FGM/C, disseminate evidence-based information on its harmful effects, promote best practices for prevention and response, and amplify the voices of survivors by providing them with a platform to share their stories and advocate for change.
It brought together high-level Indonesian government officials from the Ministry of Women’s Empowerment and Child Protection (KemenPPPPA), Ministry of Health (Kemenkes), Ministry of Religious Affairs (Kemenag), The National Commission on Violence against Women (Komnas Perempuan), along with Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), women-focused non-government organisations (NGOs), youth, and survivors.
In Indonesia, 46,3% of women aged 15-49 have undergone FGM/C, the 2024 National Women’s Life Experience Survey (SPHPN 2024) found. Globally, over 230 million girls and women alive today have undergone FGM/C, and 68 million more girls are at risk between 2020 and 2030, averaging to over 4 million girls a year, according to a 2024 global UNICEF report. A 2024 study by the University of Birmingham identified FGM/C as a leading cause of death in the 15 African countries subject to the research, causing an estimate of over 44,000 deaths annually. It’s also costly, with estimated US$ 1.4 billion per year spent for treatment caused by health complications of FGM/C.
UNFPA estimates that 68 million girls face female genital mutilation between 2015 and 2030. A key challenge is not only protecting girls who are currently at risk, but ensuring that those born in the future will be free from the dangers of the practice. In 2025, UNFPA estimates that more than 4.4 million girls are at risk of female genital mutilation, up from 4.1 million girls in 2019.
Minister Counsellor-Development of the British Embassy Jakarta, Amanda McLoughlin said:
FGM/C is one of the most extreme manifestations of gender inequality and violence against women and girls which can result in a lifetime of physical, and psychological suffering. This is unacceptable and cannot go on.
As a global community we are making progress; today a girl is one-third less likely to be cut than 30 years ago. However, we have reached a critical juncture: despite the decline in prevalence, population growth means progress would need to be at least 27 times faster to meet the global target of eliminating FGM/C by 2030.
We only have five years to meet the sustainable developmental goal (5.3) of FGM/C abandonment by 2030. To end this, we need to catalyse our efforts together to accelerate progress towards a world where every girl and woman can live free from violence. I am so hearted by the efforts being made across the spectrum in Indonesia, between policy-makers, religious groups, civil society and the international community. Bersama kita bisa!
Hassan Mohtashami, the UNFPA Indonesia Representative said:
We must urgently accelerate our progress to end FGM/C. We need everybody on board; we need the government, we need development partners, we need health professionals, we need religious leaders, we need NGOs, we need human rights activists, all as an alliance.
We need women and girls at the centre, making sure we are not just talking about the numbers, each one of them is a human being who faces psychological and medical consequences of the harmful practice.
UNFPA and UNICEF are here, we do our best to support the Government of Indonesia and other actors in this field. And we are grateful for the support of our development partners such as the UK and other donors. Everyone has a role to play in protecting every girl, so let's act with urgency to end FGM/C now.”
Desy Andriani, Ministry of Women Empowerment and Child Protection’s Deputy for Protection of Women’s Rights said:
"The practice of FGM/C, including its medicalized and symbolic forms, should be gradually phased out, particularly when it is rooted in gender-based discrimination. Addressing this issue requires a comprehensive, multi-sectoral approach rather than the efforts of a single sector. Therefore, it is essential to enhance collaboration and coordination among all relevant stakeholders to ensure a holistic and sustainable response."
The stakeholders participating in the discussion agreed that key strategies to eliminate FGM/C in Indonesia should include addressing cultural and behavioural norms, empowering health professionals and community leaders to advocate against FGM/C, and leverage Indonesia's position as the world’s largest Muslim-majority nation to lead global efforts in ending FGM/C.
Ultimately, eradicating FGM/C requires a comprehensive and collaborative approach that eliminates discriminatory practices and fosters gender equality.
-------------------------------------------------
For further information, please contact:
- Media and Communications team at the British Embassy Jakarta: Deputy Head of Communications - Faye Belnis +62 8118777 762
- Dian Agustino (Communications Analyst, UNFPA Indonesia): agustino@unfpa.org
-------------------------------------------------
SIARAN PERS
Pemerintah Inggris dan UNFPA Mendukung Pemerintah Indonesia Dalam Upaya Penghapusan Praktik Pemotongan/Pelukaan Genitalia Perempuan di Indonesia
Untuk memperingati Hari Internasional Tanpa Toleransi terhadap Pemotongan/Pelukaan Genitalia Perempuan (P2GP), Kedutaan Besar Inggris di Jakarta dan UNFPA baru-baru ini mengadakan forum yang dihadiri oleh para pemangku kepentingan nasional di Jakarta. Acara ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, memperkuat kolaborasi, dan mempercepat kemajuan dan upaya menuju penghapusan praktik P2GP di Indonesia serta untuk mengatasi norma-norma sosial dan budaya yang melanggengkan P2GP, menyebarkan informasi berbasis bukti mengenai dampak buruknya, mempromosikan praktik terbaik untuk pencegahan dan respons, dan menggaungkan suara para penyintas dengan menyediakan platform bagi mereka untuk berbagi cerita dan membuat perubahan.
Forum ini menghadirkan para pejabat tinggi pemerintah Indonesia dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPPA), Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Kementerian Agama (Kemenag), Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), serta Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), lembaga swadaya masyarakat (LSM), orang muda, serta penyintas.
Di Indonesia, 46,3% perempuan berusia 15-49 tahun pernah menjalani P2GP, berdasarkan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN 2024). Menurut laporan global UNICEF tahun 2024, lebih dari 230 juta anak perempuan dan perempuan di dunia yang hidup saat ini telah mengalami P2GP, dan lebih dari 68 juta anak perempuan berisiko mengalami P2GP dari tahun 2020 hingga 2030, dengan rata-rata lebih dari 4 juta anak perempuan per tahun. Sebuah studi pada tahun 2024 yang dilakukan oleh Universitas Birmingham mengungkap P2GP sebagai penyebab utama kematian di 15 negara Afrika yang menjadi subjek penelitian, dan diperkirakan menyebabkan lebih dari 44.000 kematian setiap tahunnya. Dampak biaya P2GP juga besar, dengan perkiraan US$ 1,4 miliar per tahun yang dihabiskan untuk pengobatan akibat komplikasi kesehatan akibat P2GP.
UNFPA memperkirakan bahwa 68 juta anak perempuan mengalami P2GP antara tahun 2015 hingga 2030. Tantangan utamanya bukan hanya melindungi anak perempuan yang saat ini berisiko mengalami P2GP, namun juga memastikan bahwa mereka yang lahir di masa depan akan bebas dari praktik berbahaya tersebut. Pada tahun 2025, UNFPA memperkirakan lebih dari 4,4 juta anak perempuan berisiko mengalami mutilasi alat kelamin perempuan, di mana angka tersebut meningkat dari yang sebelumnya berjumlah 4,1 juta anak perempuan pada tahun 2019.
Direktur Pembangunan Internasional Inggris untuk Indonesia, Amanda McLoughlin mengatakan:
“P2GP adalah salah satu manifestasi paling ekstrim dari ketidaksetaraan gender dan kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan yang dapat mengakibatkan penderitaan fisik dan psikologis seumur hidup. Praktik berbahaya ini tidak dapat diterima dan tidak boleh dilanjutkan.
Sebagai komunitas global, kita sudah mengalami kemajuan; saat ini peluang seorang anak perempuan mengalami P2GP sepertiga lebih kecil dibandingkan 30 tahun yang lalu. Namun, kita telah mencapai titik kritis: meskipun terjadi penurunan angka, pertumbuhan populasi dunia menyebabkan perlunya peningkatan dalam kemajuan sebanyak 27 kali lebih cepat untuk memenuhi target global dalam P2GP pada tahun 2030.
Kita hanya memiliki waktu lima tahun untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan (5.3) untuk menghentikan P2GP di tahun 2030. Untuk mencapai hal ini, kita perlu meningkatkan upaya kita bersama dalam mempercepat kemajuan menuju dunia di mana setiap anak perempuan dan perempuan dapat hidup bebas dari kekerasan. Saya sangat senang bahwa upaya ini sudah dilakukan di seluruh lapisan masyarakat di Indonesia yang melibatkan para pembuat kebijakan, kelompok agama, masyarakat sipil, dan komunitas internasional. Bersama kita bisa!”
Hassan Mohtashami, Perwakilan UNFPA Indonesia mengatakan:
“Kita harus segera mempercepat kemajuan dalam mengakhiri P2GP. Kta membutuhkan semua orang untuk ikut terlibat; pemerintah, mitra pembangunan, profesional dalam bidang kesehatan, pemimpin agama, LSM, aktivis hak asasi manusia, semua elemen bersatu sebagai sebuah aliansi.
Kita harus menempatkan perempuan dan anak perempuan sebagai pusatnya, serta memastikan bahwa kita tidak hanya berbicara tentang angka, karena setiap individu adalah manusia yang menghadapi konsekuensi psikologis dan medis dari praktik berbahaya ini.
UNFPA dan UNICEF hadir di sini, kami melakukan yang terbaik untuk mendukung Pemerintah Indonesia dan pemangku kepentingan lain di bidang ini. Dan kami berterima kasih atas dukungan mitra pembangunan kami seperti Inggris dan donor lainnya. Setiap orang mempunyai peran dalam melindungi setiap anak perempuan, jadi mari kita bertindak segera untuk mengakhiri P2GP sekarang.”
Desy Andriani, Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengatakan:
“Praktik P2GP, termasuk bentuk-bentuk medis dan simboliknya, harus dihapuskan secara bertahap, terutama jika praktik tersebut berakar pada diskriminasi berbasis gender. Untuk mengatasi masalah ini, kita memerlukan pendekatan multisektoral yang komprehensif, sehingga ini bukan upaya satu sektor saja. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk meningkatkan kolaborasi dan koordinasi di antara semua pemangku kepentingan terkait untuk memastikan respons yang holistik dan berkelanjutan.”
Para pemangku kepentingan yang berpartisipasi dalam diskusi untuk menyepakati strategi utama dalam menghilangkan P2GP di Indonesia yangs mencakup penanganan norma-norma budaya dan perilaku, memberdayakan para profesional kesehatan dan tokoh masyarakat untuk melakukan advokasi penghapusan P2GP, dan memanfaatkan posisi Indonesia sebagai negara mayoritas Muslim terbesar di dunia untuk memimpin upaya global dalam mengakhiri P2GP.
Kesimpulannya, pemberantasan P2GP memerlukan pendekatan komprehensif dan kolaboratif yang menghilangkan praktik diskriminatif dan mendorong kesetaraan gender.
-------------------------------------------------
Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi
- Tim Media dan Komunikasi di Kedutaan Besar Inggris Jakarta: Wakil Kepala Komunikasi - Faye Belnis +62 8118777 762
- Dian Agustino (Communications Analyst, UNFPA Indonesia): agustino@unfpa.org