Go Back Go Back
Go Back Go Back
Go Back Go Back

Mengapa Kebijakan Fertilitas Harus Fokus Pada Individu, Bukan Angka

Mengapa Kebijakan Fertilitas Harus Fokus Pada Individu, Bukan Angka

News

Mengapa Kebijakan Fertilitas Harus Fokus Pada Individu, Bukan Angka

calendar_today 11 July 2023

Mengapa Kebijakan Fertilitas Harus Fokus Pada Individu, Bukan Angka. (Photo: UNFPA Indonesia)
Ketika tingkat kesuburan meningkat atau menurun, perempuan tidak boleh ditekan oleh pemerintah atau masyarakat untuk memiliki atau tidak memiliki anak. (Photo: UNFPA Indonesia)

Teks Editorial oleh Direktur Regional Asia Pasifik UNFPA

Bjorn Andersson

 

 

Pada Hari Kependudukan Dunia, Direktur Regional Asia Pasifik UNFPA, Bjorn Andersson, menekankan pentingnya bagi pemerintah untuk memastikan kebijakan kependudukan dan pembangunan yang berpusat pada kesetaraan gender dan hak asasi manusia, sehingga mempermudah sekaligus memberdayakan perempuan untuk mengambil keputusan mandiri mengenai kesehatan reproduksinya.

 

 

Apakah dunia memiliki terlalu banyak atau terlalu sedikit orang? Jawabannya adalah tidak ada jumlah penduduk yang sempurna, karena kebijakan yang berfokus pada tingkat kesuburan hanya akan mengikis hak-hak dan pilihan-pilihan reproduksi perempuan dan anak perempuan. Pesan ini dipertegas dalam Laporan Situasi Kependudukan Dunia 2023 yang diterbitkan oleh UNFPA, yang menyoroti beragam perspektif di seluruh dunia mengenai dinamika kependudukan dan potensi dampaknya terhadap masyarakat.

Dengan lebih dari separuh dari 8 miliar penduduk dunia hidup di Asia dan Pasifik, di mana lebih dari 50 persen di antaranya adalah perempuan dan anak perempuan, wacana tentang dinamika kependudukan merupakan peluang besar untuk mengubah cara pemerintah dan masyarakat berpikir dan berbicara tentang tren demografi, termasuk tingkat fertilitas.

Di masa lalu, banyak negara berupaya keras untuk mencapai apa yang mereka anggap sebagai jumlah penduduk yang sempurna. Melalui pengalaman yang sulit, banyak negara telah menyadari bahwa menetapkan target penduduk tidaklah memberikan solusi untuk masalah-masalah seperti kelesuan ekonomi dan krisis iklim. Bahkan, hal ini sering kali mengakibatkan pelanggaran hak asasi manusia dan kebebasan individu, terutama ketika perempuan menghadapi tekanan untuk memiliki anak atau menghadapi hambatan yang menghalangi mereka untuk memiliki anak. Dalam kasus-kasus di mana pertumbuhan populasi melambat, hal ini dapat menyebabkan penerapan langkah-langkah keras seperti memberlakukan pembatasan kontrasepsi. Demikian pula, negara-negara yang bergulat dengan peningkatan angka kelahiran menerapkan kebijakan yang membatasi jumlah anak yang dapat dimiliki oleh pasangan, dan di kasus-kasus yang lebih ekstrem, melakukan praktik-praktik yang menindas dan berdampak permanen seperti sterilisasi paksa.

Pada tahun 1994, Konferensi Internasional tentang Kependudukan dan Pembangunan (International Conference on Population and Development) yang bersejarah menyatukan negara-negara dalam kesepakatan bahwa hak-hak reproduksi dan pilihan perempuan dan anak perempuan harus dijadikan dasar bagi kebijakan kependudukan dan pembangunan. Hampir 30 tahun kemudian, meskipun banyak kemajuan yang telah dicapai, ribuan perempuan dan anak perempuan di seluruh Asia dan Pasifik masih menghadapi keterbatasan akses atau bahkan tidak memiliki akses sama sekali terhadap layanan dan informasi kesehatan seksual dan reproduksi yang berkualitas. Mereka yang berasal dari kelompok yang terpinggirkan terus hidup dalam kemiskinan, terkucilkan dari pendidikan dan pekerjaan.

Mengapa perempuan tidak dapat membuat keputusan mandiri untuk membangun kehidupan, keluarga, dan karier yang mereka inginkan? Ketidaksetaraan gender adalah akar dari masalah ini.

Sebagai contoh, seorang perempuan mungkin harus memilih antara memiliki bayi atau memilih karier karena kurang adilnya pembagian tanggung jawab di rumah atau tidak adanya kebijakan waktu kerja fleksibel di tempat kerjanya. Ia mungkin juga tumbuh tanpa menyadari pilihan reproduksinya, serta kuasa yang ia miliki dalam membentuk masa depannya sendiri. Bahkan jika ia sadar, ia mungkin tidak dapat mengakses alat kontrasepsi karena kebijakan yang menghambat keluarga berencana atau karena kurangnya layanan yang berkualitas.

Ketidakadilan dan ketidaksetaraan yang meluas menghambat akses perempuan dan anak perempuan terhadap pendidikan, layanan kesehatan, kesempatan kerja, dan kepemimpinan. Hal ini membatasi otonomi dan kapasitas mereka untuk membuat pilihan yang tepat terkait seksualitas dan kesehatan reproduksi mereka sendiri, serta memperkuat kerentanan mereka terhadap kematian ibu yang seharusnya dapat dihindari, kekerasan berbasis gender, dan norma-norma sosial yang berbahaya.

 

 

Mengapa Kebijakan Fertilitas Harus Fokus Pada Individu, Bukan Angka. (Photo: UNFPA Indonesia / Lucky Putra)
(Photo: UNFPA Indonesia)

 

Ketika perempuan berdaya, mereka dapat membentuk masyarakat dan negara secara keseluruhan.

 

Sebagai contoh, mari kita lihat kehidupan Rasini. Saat ini, ia adalah ibu berusia 35 tahun dengan seorang bayi perempuan yang baru lahir, dan merupakan manajer senior di sebuah perusahaan telekomunikasi terkemuka. Ketika belia, ia memiliki akses ke pendidikan seksualitas, dan ketika dewasa, ia menyelesaikan gelar sarjana dan mengejar karier. Ia mampu memutuskan kapan ia akan siap untuk membangun keluarganya sendiri.

Selain memiliki lingkungan rumah yang mendukung dengan orang tua serta suami yang mendukung keputusannya, Rasini juga memiliki akses ke sistem dan layanan yang mendukung. Kebijakan yang ramah keluarga, skema perlindungan sosial, dan praktik ketenagakerjaan yang mendorong keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi serta meringankan beban pengasuhan sangat penting dalam memberikan kemandirian bagi perempuan untuk mengambil keputusan yang tepat tentang pilihan reproduksi mereka.

Kebijakan yang mendukung perempuan yang memilih menunda atau tidak memiliki anak juga sama pentingnya. Melalui peningkatan akses terhadap layanan keluarga berencana, termasuk kontrasepsi, kehamilan dapat direncanakan. Kebijakan-kebijakan yang berakar pada kesetaraan gender memungkinkan dan memberdayakan perempuan untuk menggunakan hak-hak reproduksinya, dan pada gilirannya membantu membangun individu, keluarga, masyarakat, dan bangsa yang didasarkan pada prinsip-prinsip hak asasi manusia.

 

 

Meskipun kisah Rasini adalah contoh yang sempurna, namun kisahnya bukanlah hal yang umum terjadi.

 

Ketika tingkat kesuburan meningkat atau menurun, perempuan tidak seharusnya ditekan oleh pemerintah atau masyarakat untuk memiliki atau tidak memiliki anak. Memastikan kesetaraan gender berarti memastikan investasi di setiap tahap kehidupan perempuan, mulai dari melahirkan, remaja, hingga dewasa.

Setiap anak perempuan harus memiliki akses terhadap pendidikan seksualitas yang komprehensif, sehingga mereka dapat menjalani masa remajanya dan membuat pilihan yang tepat mengenai hal-hal yang dapat mengubah hidup mereka. Setiap perempuan harus memiliki akses terhadap layanan kesehatan seksual dan reproduksi yang berkualitas, termasuk layanan kesehatan ibu untuk kelahiran yang aman, serta kontrasepsi, jika ia ingin menghindari kehamilan. Dan setiap perempuan harus dapat menentukan pilihan karier dan kehidupannya, sehingga ia dapat merencanakan masa tuanya dengan bermartabat.

Dengan pendekatan holistik yang tertanam dalam hak asasi manusia dan berfokus pada setiap tahap kehidupan perempuan, terciptalah masyarakat, komunitas, dan negara yang tangguh, terlepas dari tingkat fertilitasnya. Hanya ketika kebijakan kependudukan dan pembangunan berfokus pada hak-hak individulah maka kita dapat menciptakan peluang-peluang tanpa batas untuk semua.

 

 

 

 

 

*Artikel ini merupakan terjemahan dari artikel yang diterbitkan oleh UNFPA Asia Pasifik. Baca artikel aslinya di sini.